Surat Terbuka Soe Tjen Marching untuk Jaya Suprana Tentang Mulut Ahok


Beritateratas.com - KEHEBOHAN ucapan yang sering ditampilkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ke hadapan publik, menjadi sorotan dari berbagai pihak. Ada yang memuji karena menganggap lontaran-lontaran ucapannya adalah ungkapan seorang yang jujur. Tapi banyak juga yang menganggap sebagai tak berbudaya dan hanyalah kamuflase untuk menutupi ketidakmampuannya sebagai pejabat negara.

Ucapan-ucapan kasar Ahok tersebut mendatangkan sorotan dari tokoh-tokoh nasional, diantaranya adalah Jaya Suprana, Pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Seorang tokoh dari etnis Tionghoa/Cina yang hawatir apabila lontaran-lontaran kasar Ahok akan berakibat buruk bagi masyarakat etnis Tionghoa yang lain. Kegelisahannya itu ia tuliskan dalam sebuah Surat Terbuka.

Menyusul Surat Terbuka yang ditulis oleh Jaya Suprana sebagai kritikan terhadap ‘mulut’ Ahok; Senin lalu (6/4), seorang aktivis perempuan yang terkenal sebagai sangat anti-Orba, Soe Tjen Marching, menuliskan pembelaannya untuk Ahok melalui sebuah Surat Terbuka di Media Sinar Harapan. Berikut Surat Terbuka tersebut:

Yang terhormat Pak Jaya Suprana,

Saya sangat menghormati, menghargai, dan mengagumi semangat Anda mendidik seseorang untuk bersikap sopan. Sayangnya, alasan yang Anda ajukan justru bisa menciptakan kelirumologi.

Saya akui, mulut Ahok memang kasar. Namun bagi saya, masih tidak ada apa-apanya dibandingkan mulut Soeharto yang menyebut sekelompok orang tertentu sebagai orang “Cina”, walaupun mereka lahir dan besar di Indonesia, bahkan banyak di antaranya sudah beberapa generasi hidup di Indonesia.

Soeharto juga berkali-kali menstigma mereka. Mulut Ahok juga tidaklah senista Soeharto sewaktu ia menganggap korban-korban peristiwa 30 September 1965 beserta anggota keluarga mereka sebagai bagian dari “bahaya laten”.

Seperti Pak Jaya, saya adalah seorang yang sering kali disebut “Cina” atau Tionghoa, walaupun saya lahir dan besar di Indonesia dan memegang paspor Indonesia. Seperti Anda juga, Pak Jaya Suprana, ayah saya adalah salah seorang korban peristiwa 30 September 1965.

Mungkin benar, seperti yang Pak Jaya tulis, “Kebencian terhadap kaum Tionghoa belum lenyap.” Ahok masih sering kali diserang dengan kata “Cina”, begitu juga saya. Tapi bila saya, Anda, atau Ahok diserang karena stempel Tionghoa yang sudah telanjur melekat dalam orang-orang seperti kita, mengapa mulut Ahok tiba-tiba menjadi kambing hitamnya?

Saya tidak bilang mulut Ahok itu halus dan sopan. Sama sekali tidak. Saya juga akui mulut Ahok kasar. Tapi, siapa yang bisa tahan bersopan-sopan terlalu lama dengan para koruptor yang hendak menggarong sebagian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga menipu rakyat?

Apakah sewaktu Ahok memaki para koruptor, ia sedang merepresentasikan diri sebagai orang Tionghoa? Jika iya, berarti semua orang Tionghoa adalah pemaki koruptor. Wah, hebat juga! Sayangnya, tidak. Karena itulah, perjuangan Ahok menjadi lumayan alot.

Ini berarti kita juga tidak bisa menganggap makian Ahok sebagai representasi dari orang Tionghoa. Menyatakan makian Ahok akan berpotensi menyulut huru-hara lagi justur akan menampikkan penyebab huru-hara itu sendiri.

Pejabat bermulut kasar bukan hanya Ahok. Orang Indonesia yang memaki juga bukan hanya Ahok. Tapi, apakah setiap orang yang memaki. lalu bisa menjadi alasan, bahkan pembenaran bagi yang lain, untuk menciptakan huru-hara bagi kelompoknya?

Apakah bila Ratna Sarumpaet memaki wartawan Yenni Kwok, hanya karena ia tersinggung dengan tulisan Yenni (bukan karena masalah seserius korupsi), kita bisa menganggap bahwa jika ada pembantaian atau pemerkosaan massal terhadap suku Batak, makian Ratna Sarumpaet adalah salah satu penyebabnya?

Pak Jaya, cara berpikir seperti ini justru mendukung kesesatan, seolah menjadi korban adalah bagian dari kesalahan. Seolah sebagai kelompok yang kerap disudutkan bahkan diserang, mereka yang telanjur distempel Tionghoa ini harus selalu waspada terhadap ucapan dan tindakan, tidak saja bagi diri mereka, namun juga orang-orang yang dianggap termasuk dalam ras mereka. Hal ini akan memperdalam jurang antara orang-orang yang distempel Tionghoa dan bukan.

Padahal, siapa yang bisa dengan pasti memilah antara “Tionghoa” dan “pribumi” apabila sebagian nenek moyang tertua Indonesia datangnya dari China Selatan (Yunan)?

Hal yang amat saya sayangkan juga, dalam mengkritik Ahok, Jaya Suprana merujuk kepada Habib Rizieq. Begini tulis Pak Jaya, “Tidak kurang dari imam besar FPI, Habib Rizieq menyatakan kepada saya pribadi, beliau menghargai semangat Anda membasmi korupsi, namun yang tidak disukai pada diri Anda hanyalah kata-kata tidak sopan.”

Namun, bagaimana dengan Habib Rizieq sendiri? Ingatkah Anda bahwa sang “imam besar” ini sempat mengatai Ahok “kafir”, “goblok”, dan segala macam hanya karena Ahok akan dilantik menjadi gubernur?

Kata-kata Ahok mungkin menyinggung sebagian bangsa Indonesia. Tapi, saya sendiri sudah lelah dengan politikus yang berbaju necis dan sopan, namun korup, seolah memang itulah “budaya” yang dipertahankan dalam negeri ini. Maling ayam digebuki, koruptor besar dihormati karena “boleh saja menjarah dan merampok asalkan santun?”

Soe Tjen Marchingpendiri Lembaga Bhinneka dan Yayasan Bhinneka Nusantara, penulis buku Mati Bertahun yang Lalu dan Kisah di Balik Pintu. Koordinator IPT 65 seluruh Britania dan sedang menulis buku tentang korban Genosida 1965.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surat Terbuka Soe Tjen Marching untuk Jaya Suprana Tentang Mulut Ahok"

Posting Komentar