Beritateratas.com - Ahok Gubernur DKI Jakarta, ia telah menertipkan prostitusi, lokalisasi, pungli, bangunan liar ilegal, membersihlan kali dan sungai dengan mengerahkan anak buahnya, menutup Diskotik megah, memberangkatkan umrah para penjaga Musholah, rutin menyumbang hewan sapi dihari Idul Qurban, rajin bersedekah dan rutin mengeluarkan zakat menjelang Idul Fitri (meskipun tdk dianggap zakat), membuat program kuliah gratis di 56 Universitas ternama untuk anak tak mampu, berobat gratis bagi warga tak mampu.
Tapi Ahok ngomongnya juga suka ceplas ceplos, kadang kasar (kalau sama maling dan begal anggaran). Baru-baru ini Ahok dianggap melakukan penistaan terhadap agama islam terkait surat Al-Ma'idah ayat 51. Bahkan Ahok serta merta diberi tagline, Penghina dan penista Agama. Padahal sebelumnya Ahok sudah mengatakan bahwa dirinya tak bermaksud menghina islam apalagi Alquran.
Logikanya demikian. Bagaimana mungkin, seorang yang hendak mencalonkan diri lalu menghina Agama yang mayoritas?
Namun tetap saja, Ahok masih terus diburu oleh gerombolan FPI dan sejumlah ormas. Tidak ketinggalan Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Cs.
Sampai Ahok harus ditangkap dan dipenjara atas tuduhan penghinaan agama.
Kalau tidak, Ahok harus dibunuh. Begitu teriakan FPI and the Ganks.
Lalu bagaimana dengan kasus Menteri AM Saefuddin yang sama kasusnya dengan Ahok.
Menteri AM Saefudin bahkan jelas - jelas melakukan perbuatan SARA, menghina umat Hindu.
Iya. Hindu bukan mayoritas dinegeri kita. Tapi tetap saja, masalah agama, orang Hindu pun marah besar!! Bahkan umat Hindu lakukan demo besar - besaran.
Tapi apa AM Saefudin ditangkap..? Tidak, bukan.
Pancasila tidak hanya menaungi satu agama mayoritas, tapi menaungi dan memberi keadilan sosial bagi semua agama.
Pada tahun 1998, AM Saefudin ramai didemo umat Hindu. Tapi tentu saja tidak berakhir, ditangkap atau dipenjara. Apalagi dilengserkan dari jabatannya.
Kalau ada orang yang tak layak hidup di negara Pancasila ini, Menteri Pangan AM Saefuddin-lah orangnya saat itu. Manusia yang satu ini telah melecehkan agama Hindu untuk kepentingan politik pribadi dan ambisinya menjadi presiden RI. Saat itu ramai masyarakat meminta Presiden Habibie harus berani memecat menteri ini, bahkan jika perlu menggantungnya.
Itulah intisari nurani sekitar 50 umat Hindu yang menamakan dirinya Aksi Umat Menggugat (AUM).
Mereka, Jumat (16/10/1998), menggelar demonstrasi di DPRD Bali dan Polda Bali. Unjuk rasa ini berkaitan dengan pernyataan Menteri Pangan dan Hortikultura AM Saefuddin yang dinilai menghina umat Hindu.
Menteri ini telah menggunakan agama dan melecehkan agama Hindu sebagai alat propaganda politik.
Mereka menghujat menteri yang berambisi menjadi kandidat calon ketua DPP PPP dan calon presiden itu.
AUM menyampaikan aspirasi dalam bentuk orasi secara bergiliran. Gendho, misalnya, dengan suara lantang menuntut Presiden Habibie harus berani memecat menteri itu. Bila perlu, menggantung Saefuddin. Orang semacam ini tidak boleh dibiarkan hidup di bumi ini, karena menjadi biang kerusuhan. ''Saefuddin tak bermoral. Dia harus dipecat dan diberangus dari bumi ini,'' katanya.
Dia minta Dewan proaktif karena masalah penistaan terhadap suatu agama tak bisa dibiarkan. ''Tiga kali 24 jam setelah pernyataan ini dimuat, Dewan harus mengirimkan surat pernyataan kepada Menteri Pangan dan Hortikultura,'' pintanya. AUM menyebut, Menpangan ini sebagai menteri SARA, yang akan memancing desintegrasi di Indonesia.
Mereka pada intinya sangat mengkhawatirkan kondisi bangsa Indonesia yang pemerintahannya dihuni orang-orang anasionalis seperti AM Saefuddin.
Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia yang masih cinta kepada RI, harus cepat-cepat mengambil sikap.
Di antaranya memecat AM Saefuddin sebagai menteri, dan memprosesnya secara hukum di pengadilan. ''Pernyataan AM Saefuddin bertentangan dengan UUD 1945. Mana ada aturan yang melarang umat Hindu jadi presiden,'' kata Gendho.
Di DPRD Bali, AUM diterima Wakil Ketua DPRD Bali Santoso Adhisuryo, Dr. I Made Titib (F-KP), IGK Adnyana (F-PDI) dan anggota DPRD lainnya.
Santoso Adhisuryo memahami sikap umat Hindu seperti ini. Sebagai pemimpin DPRD Bali yang juga umat Islam, dia menyatakan tidak senang dengan pernyataan AM Saefuddin ini. ''Ini sebenarnya bukan karena Islamnya, tetapi karena oknumnya,'' katanya sembari berjanji meneruskan aspirasi umat Hindu ini ke Jakarta.
Wakil Ketua PHDI Bali Dr. I Made Titib yang juga sekretaris Komisi E DPRD Bali mengatakan sependapat dengan tuntutan AUM ini. Dijelaskan, bangsa Indonesia mesti dipimpin orang yang berjiwa kebangsaan. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang diskriminatif tidak boleh muncul dari seorang yang menjadi pemimpin bangsa ini. Ia juga sependapat jika AM Saefuddin tidak lagi memangku jabatan menteri. ''Saya sependapat, jika orang-orang yang anasionalis tidak lagi memimpin bangsa ini,'' katanya.
PHDI sebagai majelis tertinggi umat Hindu, lanjutnya, akan segera mengambil sikap atas kasus ini. PHDI akan membahas kasus ini sesegera mungkin. ''PHDI segera akan mengadakan pertemuan,'' katanya. Setelah ke DPRD, AUM menuju Polda Bali. Di Polda, mereka diterima Kadit PP Kol. M. Sitorus. Mereka melaporkan kasus ini secara resmi kepada Kapolri melalui Polda Bali. AUM meminta Polri segera menindaklanjuti kasus ini.
KMHDI NTB
Dari NTB dilaporkan, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) NTB juga protes keras dan menyesalkan pernyataan AM Saefuddin yang dimuat beberapa surat kabar nasional yang isinya melecehkan umat Hindu. "Kami sangat sesalkan seorang pejabat tinggi, terlebih calon presiden, membuat pernyataan meresahkan suatu golongan," ujar Ketua KMHDI NTB Ketut Agus Ariadi dalam siaran persnya di Mataram, Jumat (16/10) kemarin.
"Dari pernyataan itu kami balik bertanya, apakah ada ketentuan yang melarang seorang yang beragama Hindu menjadi presiden RI, atau apakah presiden RI harus dari suatu golongan, agama atau ras tertentu?" tandas Agus.
Pernyataan Saefuddin tersebut sangat menyesatkan sehingga menimbulkan ketersinggungan, dan keresahan suatu kelompok masyarakat. "Kami tidak rela jika presiden RI kelak mempunyai pandangan yang sama seperti Saefuddin," ucap Agus didampingi sekretarisnya Ni Wayan Maeni Bogoryati.
Dikemukakan, dalam era reformasi ini, bangsa Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh rakyat Indonesia dari lapisan atau golongan mana pun. Selain itu, berkemampuan memimpin bangsa, tidak ambisius, dapat berlaku sebagai pelayan atau naroyo, mengetahui dan menguasai hukum dan perundang-undangan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (terutama kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan).
Atas pernyataan itu, KMHDI NTB menuntut Saefuddin menarik kembali pernyataannya dan meminta maaf kepada umat Hindu dan seluruh rakyat Indonesia. Saefuddin juga diminta mengundurkan diri sebagai Menpangan dan Hortikultura karena sikap dan moralnya dinilai tidak sesuai untuk memangku jabatan menteri.
Di samping itu, KMHDI minta pihak berwajib segera memeriksa dan minta pertanggungjawaban Saefuddin atas pernyataan tersebut serta mengimbau semua pihak tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjunjung tinggi HAM, berlaku adil, tidak diskriminatif terutama menyangkut suku, agama, golongan, dan ras. (tar/par)
0 Response to "Kisah Menteri Era 98 AM Saefudin Lakukan Penghinaan Agama, Tapi Tidak Ditangkap. Tidak Dihukum"
Posting Komentar