Beritateratas.com -
Saya tidak paham mengapa pilihan sikap Ahok yang kemudian terbukti menjadi representasi sikap sebagian masyarakat Jakarta dan Indonesia umumnya tiba-tiba membuat kelabakan banyak pihak yang selanjutnya menuding kiri kanan dan kami sebagai pihak tertuding untuk alasan yang tak jelas.
Saya gak paham. Tapi kami tak akan meladeni berbagai tudingan yang semakin tak bisa dipahami sekaligus lucu tersebut.
Tentang kalimat-kalimat yang keras, tajam cenderung kasar dari Ahok, siapa yang tak terganggu? Tapi mengapa kita tidak memahami sikap Ahok dari sudut pandang yang lain? Mengapa kita tidak menetapkan sikap Ahok ini sebagai garis demarkasi baru? Kami di Nasdem tak merasa malu apalagi terhina memberikan dukungan kepadanya meski dia telah memilih jalur independen.
Sikap kami ini tentu saja sebuah anomali. Kami sadar itu. Banyak pihak terutama dari kalangan akademisi tampak keberatan dengan pilihan kami tersebut sebab itu gerakan kembali ke titik nol dan melabrak semua pakem tentang substansi sebuah parpol.
Dari para sahabat kami parpol lain apalagi. Beberapa bahkan sudah menjurus kasar menuding kami. Kami bingung sebab pilihan politik kami kok membuat ‘sewot’ banyak pihak.
Maafkan kami sahabat. Tapi kami tak melihat alasan yang cukup untuk berbagai tudingan yang mulai tak bersahabat tersebut. Sikap kami ini semata pengakuan kami tentang merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol.
Sekali lagi, itu bukanlah hina bagi kami. Kejujuran kok dianggap hina? Kami justru mengajak diri kami memahami semua peristiwa ini sebagai cermin sekaligus otokritik bagi kami sebagai sebuah parpol.
Jika ini dianggap sebagai proses melukai diri sendiri sebagai parpol, kami rela. Kami bersedia melukai diri kami dengan harapan darah yang harus keluar dari tubuh kami mampu menjadi serum yang kelak bisa memperbaiki berbagai penyakit yang tak perlu untuk sebuah parpol yang pada akhirnya berdampak kepada rakyat Indonesia.
Soal ini bukan hal yang sederhana buat kami, sebab ini soal mandat yang telanjur diberikan kepada kami sebagai sebuah parpol.
Jika boleh, ijinkan saya mengajak parpol lain untuk bersama menjadikan momen ini sebagai garis demarkasi baru dan titik awal kesadaran parpol untuk tidak membelakangi rakyat yang diwakilinya.
Gerakan penyerahan KTP kepada Ahok untuk memenuhi syarat sebagai calon independen seharusnya dipandang sebagai cubitan keras bagi parpol.
Saya menghindari menggunakan kata ‘tamparan’. Ya… tentu saja kami menyadari sikap Ahok yang sangat keras dan keluar dari model komunikasi elit selama ini. Tapi itu tak cukup kuat bagi kami untuk menjadikan kami kehilangan fokus tentang apa fenomena dan paradigma yang terjadi dibalik semua ini.
Kali ini, masyarakat ingin mengirim sinyal tentang kegalauan mereka tentang keberadaan dan fungsi sebuah parpol.
Tapi itu bukan berarti mereka membenci parpol. Masyarakat sedang memberi kami, dan kita para pengelola parpol. Waktu untuk segera bergegas sebelum kepercayaan mereka benar-benar hilang.
Hari ini, kami telah bersikap. Jika pun sahabat kami parpol lain tak berkenan maka kami mohon maaf. Tapi inilah pilihan kami. Dan kami sama sekali tak menyesal. Kami memilih Ahok.
Wass.
Akbar Faizal
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem*(*)
Saya tidak paham mengapa pilihan sikap Ahok yang kemudian terbukti menjadi representasi sikap sebagian masyarakat Jakarta dan Indonesia umumnya tiba-tiba membuat kelabakan banyak pihak yang selanjutnya menuding kiri kanan dan kami sebagai pihak tertuding untuk alasan yang tak jelas.
Saya gak paham. Tapi kami tak akan meladeni berbagai tudingan yang semakin tak bisa dipahami sekaligus lucu tersebut.
Tentang kalimat-kalimat yang keras, tajam cenderung kasar dari Ahok, siapa yang tak terganggu? Tapi mengapa kita tidak memahami sikap Ahok dari sudut pandang yang lain? Mengapa kita tidak menetapkan sikap Ahok ini sebagai garis demarkasi baru? Kami di Nasdem tak merasa malu apalagi terhina memberikan dukungan kepadanya meski dia telah memilih jalur independen.
Sikap kami ini tentu saja sebuah anomali. Kami sadar itu. Banyak pihak terutama dari kalangan akademisi tampak keberatan dengan pilihan kami tersebut sebab itu gerakan kembali ke titik nol dan melabrak semua pakem tentang substansi sebuah parpol.
Dari para sahabat kami parpol lain apalagi. Beberapa bahkan sudah menjurus kasar menuding kami. Kami bingung sebab pilihan politik kami kok membuat ‘sewot’ banyak pihak.
Maafkan kami sahabat. Tapi kami tak melihat alasan yang cukup untuk berbagai tudingan yang mulai tak bersahabat tersebut. Sikap kami ini semata pengakuan kami tentang merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol.
Sekali lagi, itu bukanlah hina bagi kami. Kejujuran kok dianggap hina? Kami justru mengajak diri kami memahami semua peristiwa ini sebagai cermin sekaligus otokritik bagi kami sebagai sebuah parpol.
Jika ini dianggap sebagai proses melukai diri sendiri sebagai parpol, kami rela. Kami bersedia melukai diri kami dengan harapan darah yang harus keluar dari tubuh kami mampu menjadi serum yang kelak bisa memperbaiki berbagai penyakit yang tak perlu untuk sebuah parpol yang pada akhirnya berdampak kepada rakyat Indonesia.
Soal ini bukan hal yang sederhana buat kami, sebab ini soal mandat yang telanjur diberikan kepada kami sebagai sebuah parpol.
Jika boleh, ijinkan saya mengajak parpol lain untuk bersama menjadikan momen ini sebagai garis demarkasi baru dan titik awal kesadaran parpol untuk tidak membelakangi rakyat yang diwakilinya.
Gerakan penyerahan KTP kepada Ahok untuk memenuhi syarat sebagai calon independen seharusnya dipandang sebagai cubitan keras bagi parpol.
Saya menghindari menggunakan kata ‘tamparan’. Ya… tentu saja kami menyadari sikap Ahok yang sangat keras dan keluar dari model komunikasi elit selama ini. Tapi itu tak cukup kuat bagi kami untuk menjadikan kami kehilangan fokus tentang apa fenomena dan paradigma yang terjadi dibalik semua ini.
Kali ini, masyarakat ingin mengirim sinyal tentang kegalauan mereka tentang keberadaan dan fungsi sebuah parpol.
Tapi itu bukan berarti mereka membenci parpol. Masyarakat sedang memberi kami, dan kita para pengelola parpol. Waktu untuk segera bergegas sebelum kepercayaan mereka benar-benar hilang.
Hari ini, kami telah bersikap. Jika pun sahabat kami parpol lain tak berkenan maka kami mohon maaf. Tapi inilah pilihan kami. Dan kami sama sekali tak menyesal. Kami memilih Ahok.
Wass.
Akbar Faizal
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem*(*)
0 Response to "Surat Terbuka Akbar Faizal : Maaf Kami Memilih Ahok !"
Posting Komentar